Dewasa ini, seringkali manusia lupa bahwa pada hakikatnya dirinya berada dalam limpahan rahmat, terutama saat mengalami suatu musibah. Hal tersebut sering membuat kita cenderung lebih suka melihat atau menampakkan hal-hal yang tidak menyenangkan, daripada mencoba untuk menikmati dan mengtafakkuri segala macam anugrah serta nikmat yang Allah sertakan di dalam diri kita. Padahal larut dalam masalah atau musibah tidak akan menyelesaikan masalah, justru semakin kita larut didalamnya, semakin pula kita memperkeruh masalah tersebut.
Sikap ketidak sabaran, dan ketidakmampuan dalam melapangkan hati, akan menciptakan perasaan manusia merasa setiap musibah yang ia dapati adalah musibah paling besar, seakan-akan di dunia ini hanya ia yang mendapati musibah atau ujian paling besar, melebihi penderitaannya.
Dikisahkan, seorang wanita paruh baya yang mendatangi Mbah Umar Syahid (Almarhum) dan mengeluhkan segala musibah serta penderitaan yang di alaminya.
“Mbah, saya ditipu habis-habisan, hingga puluhan juta.”
Dengan santai Mbah Umar menjawab “Alhamdulillah.” Sontak wanita tersebut terkejut dan bertanya, “Mbah, saya ini tertipu, kok Alhamdulillah?” Mbah Umar kembali menjawab, “Alhamdulillah engkaumanjadi yang tertipu, bukan yang menipu.”
Rasulullah ﷺ bersabda :
مامن مصيبة يصاب بها المسلم الا كفر بها عنه، حتى الشوكة يشاكها
“Tidaklah musibah menimpa seorang muslim, kecuali ia menjadi penghapus dosanya, meskipun hanya tertusuk duri.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Maka bijaklah dalam menyikapi setiap musibah atau apapun yang menimpa, sebab hal tersebut merupakan suatu ujian atas tingkat keimanan kita, sehingga beruntunglah ia yang mampu menjadikan setiap musibah sebagai sebuah keuntungan, bukan justru sebagai bumerang yang dapat merugikan, sehingga membuat tenggelam dalam kesedihan dan larut dalam keluh kesah.
لَا يُكَلِّفُ اللَّه نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Oleh : Lie