Pena Pelajar NU- Sebagai organisasi keterpelajaran, kekaderan dan kemasyarakatan, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), mempunyai tanggung jawab penuh akan para regenerasi pelajar putri NU masa kini dan yang akan datang. Menyikapi berbagai persoalan tentang perempuan sudah bukan lagi hal yang tabu.
Sikap tanggung jawab yang sedemikian, lahir dari kesadaran pribadi para penggerak IPPNU, sebagaimana telah tercermin dalam hakikat Citra Diri dari seorang pelajar putri, yang tertuang dalam PPOA (Petunjuk Pelaksanaan Organisasi dan Administrasi) Ikatan pelajar Putri Nahdlatul Ulama, yakni mampu mengenali diri sendiri.
Proses mengenali diri sendiri bisa terbilang susah-susah gampang, sebab setiap individual punya porsi tersendiri dalam memberikan standar pencapaian akan porsinya tersebut.
Isu kesetaraan gender yang selalu menjadi perbincangan hangat antara kaum maskulin dan feminim, merupakan isu yang tidak pernah tuntas untuk dibahas di kalangan akademisi, praktisi, atau pegiat gender. Tidak ada kesimpulan yang konklusif, terutama isu tentang sejauh mana batasan peran perempuan dan laki-laki dalam urusan domestik dan urusan publik. Indonesia sebagai negara mayoritas muslim di dunia, memiliki posisi yang strategis untuk berbicara tentang peran perempuan.
Perempuan merupakn sosok makhluk mulia, sebagaimana asal dari kata perempuan sendiri adalah Mpu, yang berasal dari bahasa sangsekerta yang memiliki arti tuan. Artinya perempuan harus menjadi tuan atas dirinya. Perempuan harus menjadi kemudi tunggal atas dirinya. Perempuan harus menjadi otoritas tunggal atas dirinya. Karena itu, perempuan dalam pengertian ini, mentalnya feminis.
Publik dan domestik acap kali menjadi wacana yang selalu ditarik ulur. Seakan-akan perempuan hanya ditaqlidkan pada trilogi yang berbunyi; Kasur, sumur dan dapur. Padahal dalam Islam tak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang menbedakan keduanya hanyalah tingkat ketaqwaan. Perempuan sama-sama diberi kesempatan untuk mencari ilmu, bekerja dan lain-lain, sesuai dengan standar kemampuannya.
Menyikapi studi kasus di atas, organisi yang menjadi wadah para pelajar putri dibawah naungan Nahdlatul Ulama ini hadir sebagai solusi atas berbagai macam stereotipe tentang perempuan dan dunianya. IPPNU menjadi wadah proses pradaban para pelajar putri NU, melalui IPPNU para pelajar putri NU harus bisa menyeimbangkan antara peran domestik dan publik.
Pelajar putri NU dituntut untuk senantiasa memperjuangkan nilai-nilai ajarah Ahlusunnah Wal Jamaah sesuai kadar kemampuannya. Sebagaimana trilogi IPNU IPPNU “Belajar, Berjuang, Bertaqwa”. Serta mengamalkan prindship perjungan IPNU IPPNU yang terhimpun dalam istilah “ Mabadi Khoiru Ummah”, Yang berarti prinsip dasar yang dirumuskan sebagai langkah-langkah untuk mewujudkan ummat terbaik. Salah satu tujuannya ialah, para pemimpin NU kala itu ingin mewujudkan tujuan dan cita-cita NU, yang perlu ditopang oleh akhlak terpuji, mental yang tinggi dan mampu mengemban tugas agama dan organisasi.
Seorang filsuf Yunani (470 SM–399 SM) Socrates, pernah mengatakan bahwa; wajarnya manusia ketika semakin tinggi pendidikannya, maka semakin luas pengetahuannya, semakin luas wawasannya maka semakin bijaksana tindakannya. Stigma Socrates ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi kita yang hidup di zaman yang serba terbuka terhadap akses pengetahuan yang memaksa diri untuk open minded juga terhadap lika-liku kehidupan di dalamnya.
Oleh : Suliha (Ketua PAC IPPNU Kokop)