Pena Pelajar NU- Syekh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abdul Karim Ibn Athaillah Al-Jadzami Al-Maliki As-Sakandari atau yang biasa disebut dengan Syekh Ibu Athaillah As-Sakandari merupakan sosok ulama besar kelahiran kota Alexandra (Mesir). Beliau lahir pada tahun 648 H/1250, wafat tahun 709 H/1309 di Kairo. Panggilan As-Sakandari atau Al-Iskandari merupakan suatu laqob yang merujuk pada kota kelahirannya, yakni Iskandariyah.
Syekh Ibnu Atha’ lahir ditengah-tengah keluarga yang terdidik akan agama, jadi tidak heran jika beliau tumbuh sebagai seorang ulama yang alim dan faqih. Salah satu buah karyanya adalah kitab Al-Hikam, sebuah kitab yang hingga saat ini dikaji oleh pusat-pusat kajian Islam di seluruh dunia.
Dalam kitab tersebut dapat kita jumpai berbagai macam mutiara hikmah yang dapat menjadi landasan teoritis saat berjibaku dengan keadaan sehari-hari. Tak terkecuali tentang konsep bahagia. Kitab Al-Hikam menyebutkan bahwa kebahagiaan sejati adalah ia yang berada dalam suasana hati yang senang dan tenang. Sehingga ketika kedua rasa tersebut menyatu dalam hati seseorang maka begitulah kebahagiaan hakiki.
Namun, juga dapat menjadi suatu permasalahan, ketika seseorang tak mampu mengendalikan suasana hatinya, sebab sifat hati mudah bolak balik. Sehingga pada selang waktu tertentu manusia dapat merasakan kebahagiaan, dan dapat pula merasakan kesakitan atau kekecewaan.
Sebagai manusia paling sempurna, kita arif bahwa manusia dibekali akal untuk dapat memecahkan berbagai macam persoalan di dunia, terkhusus yang dapat menjadi penghalang akan kebahagiaannya. Namun, kembali pada sifat hati yang bolak-balik, bahwa ketika manusia telah mendapatkan semua yang diinginkan ia akan berada pada fase membosankan.
Lantas bahagia seperti apa yang harus dicari ?
Berangkat, dari ihwal tersebutlah Syekh Ibnu Athaillah mengajarkan kita akan konsep kebahagiaan yang sesungguhnya. Sehingga kita tidak perlu lagi merasakan sedih apalagi susah dalam menggapai kebahagiaan.
Di kutip dari kitab Al-hikam, hal: 45, Syekh Ibnu Atha’ menyebutkan :
ليقل ما تفرح به يقل ما تحزن اليه
“Tatkala berkurang apa yang membuatmu bahagia, maka berkurang pula apa yang membuatmu sedih.”
Kutipan tersebut secara jelas telah menggambarkan apa yang seharusnya kita lakukan, artinya dalam hidup jangan sampai berlaku secara berlebihan, baik berharap ataupun mencintai. Sebab kehilangan yang dilatari konsep secara berlebihan akan menyisakan sakit yang berlebihan pula.
Kecintaan berlebih hanya boleh diperuntukkan kepada sang Maha Cinta, jika hati sudah terpaut akan manisnya kecintaan terhadap Allah, maka tak ada satupun yang dapat membuat luka, sebab semua dijalankan atas asma Cinta.
Hal tersebut sejalan dengan ungkapan Imam Syafi’i:
“Ketika hatimu terlalu berharap pada seseorang, maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya pengharapan supaya mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui orang yang berharap pada selain-Nya, Allah menghalangi dari perkara tersebut semata agar ia kembali berharap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Oleh : Lie