MUNAJAT KESEKIAN
Pada air mata yang dirahasiakan kata-kata, engkau adalah rahmat yang mampu melayat ruang hampa, sedang di dada paling kerontang, selalu kusemayamkan asma-asma Tuhan, sebagai bentuk tasyahhud kesekian
Buliran tasbih yang kau genggam , sejadah yang kau hampar, sepertiga terahir adalah ruang tenang dari segala hiruk pikuk keduniaan
Siapa pun tahu, tak setiap tanah lembap ditumbuhi cendawan,
Namun, tidak semua mafhum, di tangan belati, banyak hati dilumuti nyeri, nganga-nganga luka yang basahnya didarahi air mata, tanpa husada bersarang kepedihan.
BUNGKAM
Bagaikan semesta, engkau adalah ruang untuk segalaku berhembus.
Sesaat tiba kehilangan seseorang berpesta dengan senyap, mata air yang panas, dari dasar hati menetes menggantikan anggur pada gelas-gelas di atas meja kesunyian .
Setelah beranjak, teduh katamu, renyah tawamu, juga rapal doa yang dahulu pernah kuaminkan itu masih lekat di benakku
Dalam keterdiaman, dalam hening yang tercipta beberapa detik setelah salam yang mungkin menjadi salam terakhir itu, kau pun berlalu.
Amsal yang tak pernah terjawab, mengapa yang diterjemahkan hati hanya bahasa cinta dan yang membutakannya, sebilah belati, yang bersarung di antara semerbak rerumpun wangi melati .
SELAT KEBIMBANGAN
Serupa enigma, kau datang pada banyak ketentuan, pada yakin sekaligus keraguan, pada tanya sekaligus jawaban, pada trauma sekaligus pengobatan, pada terus melaju sekaligus pemberhentian.
Sebelum cinta merahasiakan risalah indahnya pelangi, hujan dan kabut pernah menjangkau kesunyianku, mengirimmu sebagai runcing gerimis yang setajam paku-puku yang menancap di jantungku .
Begitu engkau membawaku pada kecemasan setajuk laut, penantianku adalah pantai, gelisah yang pasang dan surut, siang diasingkan matahari, malam dilambungkan bulan, nasib biduk cinta pun tak sampai, sejak rasi bintangmu enggan memandu hingga ke tepian .
Kokop, Bangkalan
Oleh : Lie