Pena Pelajar NU– Sudah 68 dan 67 tahun lalu IPNU IPPNU didirikan, tepat tanggal 24 Februari 1954 dan 2 Maret 1955, Sampai saat ini tidak sebagai organisasi yang berfokus pada politik, khususnya politik praktis. IPNU IPPNU didirikan sebagai organisasi kekaderan, keterpelajaran dan kemasyarakatan. Keterfokusan dalam pengkaderan terhadap pelajar menjadikan titik tumpu output-nya kepada pengabdian. Tujuannya adalah menjadi garda terdepan pengkaderan di tubuh Nahdlatul Ulama agar dapat meneruskan perjuangan para Ulama-Ulama NU. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri, sebab secara khittah, IPNU IPPNU memang digariskan sebagai organisasi kekaderan dan keterpelajaran.
Lebih dari satu 1/3 kali priode, peralihan estafet kepemimpinan terus berangsur perbaikan dan pemulihan. Di mulai sejak pralahir sebuah wadah yang melingkupi pelajar Nahdlatul Ulama, KH. Tolhach Mansoer (Pendiri IPNU) dkk sudah memiliki wacana bahwa organisasi yang akan lahir ini harus bisa menjadi penunjang kreativitas sekaligus menjadi tempat yang aman untuk para pelajar berproses. Dan menjadi tonggak perbaikan bagi para penggerak NU nantinya, mulai dari pengetahuan, ideologi dan akhlakul karimah.
Di ketahui bahwa IPNU IPPNU secara struktural merupakan gerbang awal untuk masuk sebagai penggerak NU, sebelum memasuki usia menjadi Ansor atau Fatayat hingga nanti menjadi pengurus NU atau Muslimat. Maka sudah selayaknya pengkaderan di IPNU IPPNU harus lebih masif dan aktif. Sebagai wadah keterpelajaran, kekaderan dan kemasyarakatan. Mengenalkan para anggota ataupun kader IPNU IPPNU pada konsep “Ngabdi” tentu penting hukumnya, mengingat sebagian orang memiliki perspektif bahwa “Ngabdi” adalah sebuah bentuk kepasrahan tanpa ada unsur pemaksaan.
Menilik persoalan di atas, seakan ada kesenjangan antara organisasi dan orang-orang di dalamnya. Hal tersebut seperti mematahkan konsep ikhtiar para pejuang terdahulu tentang hakikat “proses dan mengabdi”. Di IPNU IPPNU khusunya di NU sendiri. Sebagai pengurus harusnya memiliki niat sekaligus komitmen khusus, untuk bagaimana mengamalkan ajaran-ajaran yang telah dicontohkan oleh para muassis NU terdahulu. Di NU, kita kerap disemboyankan pada istilah “Ngabdi dan Proses” lebih dari itu adalah ujian ataupun bonus atas progres sekaligus proses yang dijalankan.
Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman, manusia dituntut untuk terus menyesuaikan diri terhadap konsep pembaruan, khusunya di setiap laku adaptasi teknologi. Teknologi seakan menjadi ruh kehidupan yang membuat orang tidak bisa bergerak cepat tanpa teknologi, dengan begitu berpikir cerdas saja tidak mumpuni untuk mengelola kehidupan dengan baik, melainkan sebagai pelajar NU harus bisa mengelola dengan baik dan bisa memanfaatkan kecanggihan zaman sesuai kebutuhan.
Istilah Ngabdi adalah bentuk ketakdiman seseorang kepada kiai atau gurunya. Rasa takdim seseorang kepada kiai menjadi bentuk tolok ukur tingkat keimanan pada diri seseorang. Seorang yang takdim pada guru atau kiai, perasaan hatinya akan selalu mengutamakan kebutuhan dan keperluan yang dibutuhkan kiai dibandingkan kebutuhan pribadinya.
Hal tersebut juga berlaku dalam organisasi, mengabdi di organisasi adalah melakukan setiap proses dengan penuh kesungguhan, menikmati proses tanpa protes. Ngabdi di Nahdlatul Ulama sama halnya mengabdi kepada para kiai (muassis NU), hal tersebut sejalan dengan ungkapan Hadratussyaikh Kiai Hasyim As’ari (Pendiri NU) “Barang siapa yang mengurusi NU maka aku anggap ia sebagai santri ku, dan barang siapa yang menjadi santri ku maka akan ku doakan husnul khotimah beserta anak cucunya.”
Pelajar yang benar-benar ngabdi pada kiai, dalam keadaan apa pun ia akan siap siaga melayani kiai. Karena pada dasarnya, pelajar NU adalah umat manusia yang sami’na wa atho’na. Yang didasarkan pada pengharapan rida kiai. Sebagaimana maqalah ”al-ilmu bita’alum wal barokah bil khidmah”. Ilmu didapatkan dengan belajar dan keberkahan didapatkan melalui khidmah.
Pengabdian yang ditujukan kepada kiai akan berbeda dengan pengabdian pembantu terhadap majikan. Pengabdian pada majikan memiliki tujuan yang mengarah pada dunia atau harta, yang nanti dapat menghasilkan upah atau ujrah. Sedangkan pengabdian yang ditujukan terhadap kiai, yang mengarah pada kehidupan akhirat. Di mana setiap pengabdiannya akan membuahkan hasil ilmu manfaat dan barokah, dengan demikian persoalan ngabdi pada NU sebagai organisasi yang di ridhai Allah Ta’ala sama halnya ngabdi kepada para kiai, sebab Nahdlatul Ulama didirikan oleh para kiai.
Oleh : Suliha (Kader NU Bangkalan)