Pena Pelajar NU-Dari Tebuireng ke Mekkah: Jejak Langkah Awal KH. Abdul Wahid Hasyim
KH. Abdul Wahid Hasyim lahir pada 1 Juni 1914 di Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan putra dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pondok Pesantren Tebuireng, dan ibundanya Nyai Nafiqah. Sejak kecil, Wahid Hasyim tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sarat dengan tradisi keilmuan Islam yang kuat.
Pendidikan awalnya ditempuh di Pesantren Tebuireng. Setelah menyelesaikannya pada tahun 1926, ia melanjutkan pencarian ilmunya di sejumlah pesantren di Jawa Timur, sesuai dengan tradisi para santri kala itu. Pada tahun 1932, Wahid Hasyim berangkat menunaikan ibadah haji bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Namun, perjalanan itu bukan sekadar ibadah: ia memutuskan untuk menetap di Mekkah selama dua tahun guna memperdalam ilmu hadits dan fikih.
Selama di Mekkah, ia tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga membuka dirinya terhadap pemikiran dan pengetahuan dunia. Ia mempelajari berbagai bahasa asing seperti Inggris, Jerman, dan Belanda, suatu hal yang sangat jarang dilakukan oleh santri pada zamannya. Pengalaman intelektual dan spiritual di Mekkah itulah yang kelak membentuk pandangan progresifnya dalam dunia pendidikan dan sosial keagamaan.
Pembaruan Pendidikan Islam
Sekembalinya ke tanah air, KH. Wahid Hasyim membawa semangat pembaruan yang kuat. Di Pesantren Tebuireng, ia mulai melakukan modernisasi pendidikan dengan memasukkan pelajaran umum seperti matematika, sejarah, dan bahasa asing ke dalam kurikulum. Ia juga memperkenalkan sistem klasikal (kelas berjenjang) untuk menggantikan metode tradisional sorogan dan bandongan.
Langkah-langkah ini merupakan fondasi awal integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum dalam sistem pendidikan pesantren. Gagasan ini tak berhenti di lingkungan pesantren saja, melainkan berlanjut ketika ia menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Di posisinya itu, ia memperjuangkan masuknya pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, peningkatan status dan kesejahteraan guru agama, serta mendorong berdirinya madrasah dengan dasar hukum dan kurikulum yang lebih sistematis.
Kiprah Politik dan Nasionalisme
Di luar dunia pendidikan, KH. Abdul Wahid Hasyim juga memiliki peran sentral dalam sejarah politik bangsa. Ia terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), lembaga yang merumuskan dasar negara. Dalam perdebatan-perdebatan penting mengenai arah ideologis Indonesia, Wahid Hasyim dikenal sebagai sosok yang inklusif dan moderat. Ia menjadi jembatan penting antara kelompok Islam dan nasionalis.
Visinya adalah Indonesia yang religius namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman. Ia meyakini bahwa nilai-nilai Islam dapat hidup harmonis dalam sebuah negara yang majemuk, selama dilandasi oleh sikap toleransi dan saling menghormati.
Wafat dan Warisan
Pada 18 April 1953, dalam perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri pertemuan Partai NU, mobil yang ditumpangi KH. Wahid Hasyim mengalami kecelakaan di kawasan Cimindi, dekat Cimahi, Jawa Barat. Dalam perjalanan itu, beliau ditemani putranya Abdurrahman Wahid (kelak dikenal sebagai Gus Dur), sopir, dan Argo Sutjipto (Sekretaris PBNU). Mobil mereka tergelincir dan bertabrakan dengan sebuah truk, menyebabkan KH. Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terluka parah. Sayangnya, mereka baru mendapatkan perawatan medis sekitar empat jam kemudian di Rumah Sakit Borromeus, Bandung.
KH. Abdul Wahid Hasyim wafat keesokan harinya, pada 19 April 1953, dalam usia 39 tahun. Argo Sutjipto menyusul wafat sehari setelahnya. Sementara itu, Gus Dur yang saat itu masih kecil, selamat dari peristiwa tragis tersebut.
Meskipun wafat di usia muda, warisan intelektual dan moral KH. Wahid Hasyim tetap hidup dan bahkan semakin relevan hingga hari ini. Gagasan-gagasannya mengenai pendidikan terpadu, dialog antarumat beragama, dan pentingnya moderasi dalam beragama, menjadi pijakan penting dalam menjawab tantangan era modern yang sarat dengan kompleksitas sosial dan digitalisasi.
*Refleksi: Menyalakan Obor Pendidikan dan Moderasi*
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah sosok yang memadukan tiga pilar penting dalam satu kepribadian: keilmuan, keislaman, dan kebangsaan. Generasi muda Indonesia patut mengenang beliau bukan hanya sebagai pahlawan nasional, tetapi sebagai inspirasi dalam membangun masa depan yang inklusif, beradab, dan menjunjung tinggi nilai keberagaman.
Dari perjuangannya kita belajar tentang pentingnya visi dalam pendidikan, keberanian untuk melakukan pembaruan, serta keikhlasan dalam pengabdian. Warisan pemikirannya adalah panggilan bagi kita semua untuk terus mengembangkan pendidikan Islam yang terbuka, membangun dialog yang sehat antarumat, dan merawat kebhinekaan sebagai kekayaan bangsa.
Kini, tugas kita adalah melanjutkan semangat KH. Wahid Hasyim, membangun pendidikan yang mencerdaskan dan mengokohkan persatuan Indonesia.
Sumber :
__Mengenal Abdul Wahid Hasyim, salah satu anggota BPUPKI_
__Sosok dan perjuangan KH. Abdul Wahid Hasyim_
__NU Online_
Penulis : Roizzatul Amina