Pena Pelajar NU- Hadratussyekh KH. Hasyim As’ari atau Mbah Hasyim, merupakan salah satu sosok ulama karismatik dan Pahlawan Nasional yang telah banyak berjuang atas kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Beliau merupakan pelopor berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), sebuah Organisasi Kemasyarakatan yang didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya, selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga merupakan pendiri sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
KH. Hasyim Asyari lahir pada tanggal 14 Februari 1871 atau 24 Zulkaidah 1287 Hijriah, di Pesantren Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. As’ari dan Nyai Halimah, KH. As’ari adalah pendiri PP. Keras Jombang
Nasab beliau dari jalur KH. Asy’ari (Ayah) bersambung kepada Maulana Ishaq hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-bagir. Sedang dari Nyai Halimah (Ibu) bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) seorang pemimpin kerajaan Majapahit.
Sejak usia 5 tahun, KH. Hasyim telah hidup dilingkungan Pesantren yang diasuh oleh Ayahnya, hingga pada usia 15 tahun beliau mulai berkelana keberbagai pondok pesantren sampai ke kota Mekkah untuk mencari Ilmu.
Pada usia ke 21, KH. Hasyim menyudahi masa lajangnya dan menikah dengan seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji Sidoarjo) yakni Nyai Nafisah. Pernikahan tersebut berlangsung pada tahun 1892 M, tak lama kemudian KH. Hasyim beserta keluarganya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah Haji. Bersama istrinya ia menetapkan tinggal di Mekkah guna menuntut Ilmu.
Tujuh bulan kemudian, Nyai Nafisah wafat usai melahirkan putra pertamanya, Abdullah. Setelah mendapat masa 40 hari putranya turut menyusul sang ibunda (wafat), kematian kedua orang terkasihnya tersebut membuat KH. Hasyim sangat terpukul, dan memilih untuk tidak berlama-lama di tanah suci dan kembali ke tanah air Indonesia
Pada tahun 1899 M, KH. Hasyim kembali menikah dengan Nyai Khadijah, putri KH. Romli desa Karangkates (Kediri), namun pada pernikahan keduanya juga tidak berlangsung lama, pada tahun 1901 Nyai Khadijah Meninggal. Untuk ketiga kalinya KH. Hasyim menikah kembali dengan seorang putri KH. Ilyas yakni Nyai Nafiqah, bersama Nyai Nafiqah, Kiai Hasyim dikarunia 10 orang anak, 5 putra dan 5 putri, kemudian pada tahun 1920 Nyai Nafiqah pun wafat
Kiai Hasyim melanjutkan pernikahan ke 4 kalinya dengan Nyai Masrurah, putri KH. Hasan pengasuh Pp. Kapurejo, pagu (Kediri). Atas hasil perkawinan ke empatnya, beliau dikarunia 4 orang anak, dan perkawinan ke 4 ini merupakan perkawinan terkahir beliau sampai akhir hayat.
Riwayat Pendidikan
Lahir dari background keluarga pesantren, Kiai Hasyim sangat dituntut dalam mendalami ilmu agama, beliau dididik langsung oleh ayahnya (Kh. As’ari) sampai usia 13 tahun, kemudian beliau, KH. Hasyim mulai berkelana keberbagai pondok pesantren ternama yang berada di Indonesia. Seperti pesantren Wonokoyo (Probolinggo), pesantren Langitan (Tuban), pesantren Tenggilis (Surabaya), pesantren Syaikhona Cholil Demangan (Bangkalan), pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) asuhan Kiai Ya’qub, atas nasihat Kiai Ya’qub akhirnya kiai Hasyim melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekkah.
Lahirnya Nahdlatul Ulama
Hadratussyekh Kiai Hasyim As’ari adalah sosok yang mempelopori lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar dunia pada tahun 1826. Bersama beberapa tokoh Ulama beliau mendirikan Nahdlatul Ulama atas petunjuk Syaikhona Cholil Bangkalan dengan risalah tongkat dan tasbih yang dititipkan kepada KH. As’ad Syamsul Arifin sebagai mediator.
Petunjuk tersebut lahir dari istikharah yang dilakukan Kiai Hasyim As’ari untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian KH Hasyim Asyari dalam menyambut permintaan KH Wahab Hasbullah juga dilandasi dengan berbagai hal.
Di antaranya posisi KH Hasyim Asyari saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). KH Hasyim Asyari juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari KH Hasyim Asyari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.
KH As’ad mengungkapkan, bahwa hasil dari istikharah KH Hasyim Asy’ari tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasbullah. Atas petunjuk tersebut, KH As’ad yang ketika itu menjadi santri KH Cholil berperan sebagai mediator antara KH Cholil dan KH Hasyim Asyari. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh KH As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah KH Cholil kepada KH Hasyim Asyari.
Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggambarkan bahwa Nahdlatul Ulama tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. Nahdlatul Ulama lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin.
Oleh : Lie || Editor : Razy