Pena Pelajar NU- Sebagai pelajar Nahdlatul Ulama sejati, sudah semestinya mengenal dan mengenang sosok aktivis yang masih berteteskan darah asli Madura. Beliau Prof. Dr. KH. Moh. Tolhach Mansoer, lahir pada 10 Sepetember 1930 dan wafat pada 20 Oktober 1986 M. KH. Tolhach merupakan anak kedua dari ketiga bersaudara, ia lahir dari pasangan KH. Mansoer dan Siti Nor Khotidjah.
Hidup dengan kesederhanaan sudah menjadi hal biasa bagi KH. Tolhach, ia tinggal bersama keluarganya di Malang. Meski Ayah beliau sebatas seorang pedagang tikar tapi tidak menjadi penghalang untuk menyekolahkan putranya KH. Moh. Tolhach Mansoer sampai ke Perguruan Tinggi. Beliau juga seorang yang mempunyai kegemaran membaca sehingga beliau dijuluki kutu buku, beliau juga mampu memahami sekaligus menghafalnya secara otodidak, selain itu beliau juga aktif di berbagai organisasi dan lingkaran diskusi.
KH. Tolhach, Merintis atau Mendirikan IPNU ( Ikatan Pelajar Nahlatul Ulama ) pada tanggal 24 Februari 1954. Bertepatan tanggal 29 April – 1 Mei 1954 beliau ditetapkan sebagai ketua umum pimpinan pusat pertama Sebagai wadah pelajar NU dengan tujuan untuk menyatukan pelajar pesantren dan pelajar umum, dan pada saat itu beliau langsung terpilih sebagai ketua Pimpinan Pusat. Tidak hanya aktif di satu organisasi saja, beliau juga menggeluti berbagai organisasi perlawanan kolonilisme pada waktu itu, bahkan KH. Tolchah Mansoer juga menjadi anggota DPRD pada saat ia masih kuliah, setelah menjadi aktivis dan politisi ia menjadi Dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yoyakarta.
Berbagai gelar telah mampu KH. Tolchah sandang, diantara gelar yang beliau peroleh ialah sebagai Doktor di ilmu Ketata Negaraan di UGM dan beliau merupakan alumni Fakultas Hukum UGM itu sendiri. Beliau juga pernah menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin, selain itu beliau juga dikenal sebagai Kiyai yang kritis.
Tetapi meski banyak gelar yang beliau sandang, beliau tidak pernah memandang dari kalangan apapun untuk dijadikan teman, hal tersebut dibuktikan ketika beliau selesai berpidato ia suka mengulurkan tangannya dari dalam mobil menyalami untuk orang lain. Hal tersebut juga diperkuat dengan harapan beliau akan cita-cita IPNU bahwa; “Cita-cita IPNU adalah membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat, bukan manusia calon kasta elit dalam masyarakat.”
Dengan kegigihannya itulah beliau dikenal dibumi Nusantara ini bahkan sampai internasional, benar kata pepatah ” Orang besar dapat mati saat hidupnya, namun ia bangkit justru hidup abadi setelah kematian” sudah dibuktikan oleh beliau.
Sumber: Buku Biografi Profesor NU Yeng Terlupakan
Oleh: Sawaki alby
Response (1)