Makna Spritual Dan Sosial Puasa: “Alamat Dan Jurusan”

Pena Pelajar NU- Sebagai prolog mungkin tulisan ini akan dimulai dengan perspektif Rukun Islam untuk kemudian dapat melihat maqom ibadah puasa.

“Syahadat” sebagai ketetapan dan kepentingan titik pijak sekaligus arah gerak kehidupan manusia Muslim di dunia. Semacam “alamat dan jurusan”, barangkali pada spektrum kosmologis, kemudian teologis dan baru kemudian kultural. Pandangan tersebut semacam alamat historis-kosmologis, yakni menuntut manusia melalui akal pikiran maupun informasi wahyu untuk menentukan alamat teologisnya.

Berdasarkan hal tersebut, ia berangkat merumuskan alamat sosialnya, alamat kultural juga mungkin politik, bahkan siapa kata tidak mungkin untuk dapat mencantumkan alamat geografisnya. Hingga menjadi rumusan akan macam-macam pandangan manusia terhadap dunia, akhirat, serta mengenai dunia-akhirat.

Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang telah disusun secara kolektivitas, ada yang memandang bahwa dunia ini sebagai “tujuan”. Melalui seluruh aktivitas personal, sosial hingga pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan diantara mereka dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini merupakan satu-satunya wadah yang mencakup segala awal dan akhir.

Di mulai dari wadah, subtansi, metode serta target juga hanya dunia. Seperti halnya orang lahir, sekolah, bekerja, berkuasa dan berkarier semua dalam “durasi” dunia. Namun, segala sesuatu akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia sebagai titik tolak, titik pijak, guna melangkah ke titik yang yang disebut “akhirat”.

Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah dunia berlangsung sebagai metode. Berkedudukan tinggi, berwibawa, merdeka, atau menjadi juara diantara manusia tidak dihayati sebagai Surga. Juga setiap kekalahan, penyesalan, kemelaratan di dunia tidak pula dipahami sebagai Neraka. Surga-Neraka merupakan produk dari penyikapan (teologis-moral-kultural) manusia atas semua keadaan tersebut.

Dalam hal ini belum lagi diperdebatkan tentang keberadaan Dunia-Akhirat yang diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda atau pada rentang waktu yang sama yang dibatasi oleh momentum “Yaumul Qiyamah“. Ikrar teologis yang dilaksanakan melalui Syahadatain sampai dengan bermacam ibadah lainnya juga syariat hidup secara menyeluruh adalah suatu pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangan Dunia-Akhirat. Dengan sikap ini manusia akan menggerakkan aktivitas sosialnya sebagai pedoman memandang dan menghayati.

Berbeda dengan Shalat dan Zakat, ibadah puasa lebih bersifat revolusioner. Orang diperintahkan berpuasa untuk berhadapan langsung atau meng-engkau-kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak dan meninggalkannya dalam jangka waktu tertentu. Pada orang sholat, dunia di belakanginya. Pada orang zakat, dunia disisinya. Sedang pada orang berpuasa, dunia dihadapannya namun tidak diperkenankan untuk di enyamnya.

Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita akan bertemu dengan kutipan ekonomi-industri-konsumsi yang mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama mengajak manusia menahan dan mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar dan akan berperang frontal jika masing-masing menjadi lembaga sejarah yang sama-sama kuat. Sementara Ibadah Haji, adalah puncak dan demostrasi dari suatu sikap di dunia, dimana dunia di sepelekan dan ditinggalkan. Di mana dunia disadari sebagai sekadar seolah-olah megah yang berimpilikasi pada “tipudaya”.

Oleh: Suliha (IPPNU Bangkalan)

Exit mobile version